AkhlaqAqidahFiqih MuamalahMuslim Lifestyle

Bagaimana Pandangan Fiqih Mengenai Puasa Syawal?

Dalam bulan Syawwal, umat Islam dianjurkan untuk melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawwal setelah Hari Raya Idul Fitri. Namun, muncul beberapa pertanyaan yang sering menjadi pertanyaan di kalangan masyarakat muslim dalam pelaksanaannya seperti apakah wajib berurutan atau tidak, bolehkah sebelum qadha’ Ramadhan, dan apakah boleh puasa Syawwal digabungkan dengan puasa lainnya. Artikel ini akan membahas jawaban-jawaban para ulama dalam permasalahan ini.

Baca Juga:
Implementation of The Zakat System in The Modern Era
Practical Guide to Zakat Fitrah  

1. Apakah wajib melaksanakan puasa Syawwal secara berurutan? 

Tidak diwajibkan melakukan puasa Syawwal 6 hari berturut-turut, hal ini disebutkan Al-Imam An-Nawawi dalam Syarh Muslim 8/56 sebagai berikut: 

 “Para ulama madzhab Syafi’i mengatakan bahwa paling afdhol (utama) melakukan puasa syawal secara berturut-turut (sehari) setelah shalat ‘Idul Fithri. Namun jika tidak berurutan atau diakhirkan hingga akhir Syawal maka seseorang tetap mendapatkan keutamaan puasa syawal setelah sebelumnya melakukan puasa Ramadhan.” 

Baca Juga:
Apa yang Harus dilakukan Sebelum dan Sesudah sholat Idul Fitri? 
Anjuran Berpuasa Syawwal, Apa Saja Keutamaannya?

2. Bolehkah melakukan puasa Syawwal sebelum menyelesaikan qadha’ puasa Ramadhan? 

Secara umum dua pandangan dalam masalah puasa Syawwal apakah wajib sesudah qadha’ puasa Ramadhan atau boleh sebelumnya terbagi menjadi 2: 

Pandangan Pertama: Puasa Qadha’ Ramadhan Harus Didahulukan 

  • Pendapat ini berpendapat bahwa puasa qadha’ Ramadhan harus diprioritaskan sebelum melaksanakan puasa enam hari Syawwal.  
  • Alasan yang mereka kemukakan adalah hadis Nabi Muhammad ﷺ yang menyebutkan bahwa puasa Syawwal dilakukan setelah puasa Ramadhan. 
  • Ulama-ulama yang mendukung pandangan ini antara lain Al-Imam Ibn Baz, Al-Imam Ibn Utsaimin, dan Al-Imam Saleh Al-Fauzan. 
  • Hadits yang menjadi rujukan adalah: 

عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ رواه مسلم وأبو داود والترمذي والنسائي وابن ماجه 

Dari Abu Ayyub al Anshari Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda : “Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan, lalu diiringi dengan puasa enam hari pada bulan Syawwal, maka dia seperti puasa sepanjang tahun”. [Diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Dawud, at Tirmidzi, an Nasaa-i dan Ibnu Majah]. 

Baca Juga:
Kenapa sih Kita Harus Memulai Berinvestasi Syariah?
Memaknai Idul Fitri dalam Melakukan Hijrah Finansial 

Pandangan Kedua: Boleh Melakukan Puasa Syawwal Sebelum Qadha’ Ramadhan 

  • Sebagian ulama berpendapat bahwa puasa enam hari Syawwal boleh dilakukan sebelum melaksanakan puasa qadha’ Ramadhan. 
  • Mereka mengacu pada hadis yang mengisahkan Aisyah Radhiyallahu anha yang menyelesaikan puasa qadha’ Ramadhan setelah Bulan Sya’ban. 
  • Pandangan ini juga didukung dengan penafsiran ayat Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 185 yang menyinggung tentang qadha’ puasa sebagai berikut: 

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ 

dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. (QS Al-Baqarah:185) 

Kata Iddah (عدة) yang ditulis secara nakirah (non spesifik) bermakna muthlaq, maka boleh melakukan qadha’ puasa Ramadhan di hari apa saja. 

  • Ulama yang mendukung pandangan ini antara lain Al-Hafizh Ibnu Hajar dan Syaikh Al-Albani. 
  • Hadits yang menjadi rujukan adalah: 

Dari Abu Salamah, ia mendengar ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, 

كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ 

“Aku dahulu punya kewajiban puasa. Aku tidaklah bisa membayar utang puasa tersebut kecuali pada bulan Sya’ban.”  (HR. Bukhari, no. 1950; Muslim, no. 1146) 

Sementara riwayat dari Muslim mencatat hadits tersebut sebagai berikut: 

كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ الشُّغُلُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَوْ بِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- 

“Aku dahulu punya kewajiban puasa. Aku tidaklah bisa membayar utang puasa tersebut kecuali pada bulan Sya’ban karena kesibukan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” 

Baca Juga:
Dampak Moral, Kesehatan, dan Sosial dari Puasa Ramadhan 
Bunga Bank Samakah dengan Riba? 

3. Masalah menggabungkan niat antara puasa Syawwal dengan puasa lainnya: 

Salah satu masalah lainnya yang juga penting untuk dibahas adalah bolehkah menggabungkan puasa Syawwal dengan puasa lainnya baik puasa wajib seperti qadha’ Ramadhan maupun dengan puasa sunnah seperti puasa senin kamis atau puasa tengah bulan Hijriah, hukum masalah ini dijelaskan sebagai berikut: 

  • diperbolehkan penggabungan niat antara puasa Syawwal dan puasa sunnah lainnya. 
  • Namun, penggabungan niat antara puasa qadha’ Ramadhan dan puasa sunnah seperti puasa Syawwal tidak diperbolehkan, karena keduanya memiliki hukum yang berbeda. Maka niat puasa yang wajib akan selalu dikedepankan dibandingkan niat puasa sunnah 

Terdapat banyak pertanyaan mengenai pelaksanaan puasa Syawwal setelah puasa Ramadhan, namun yang terpenting adalah menjalankan amal ibadah dengan niat yang ikhlas dan tulus serta berusaha untuk mendekatkan diri kepada Allah ﷻ Dengan demikian, mari kita manfaatkan bulan Syawwal dengan sebaik-baiknya untuk meningkatkan ketaatan dan mendapatkan berkah dari-Nya. 

Baca Juga:
The Eight Categories of Asnaf: Who Qualifies for Zakat Distribution? 
Islamic Economic System and the Prohibition of Interest (Riba) 

Referensi

Devin Halim Wijaya

Master student in IIUM (Institute of Islamic Banking and Finance) | Noor-Ummatic Scholarship Awardee

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button