Harta Haram KontemporerUncategorized

Bekerja dan Membeli di Tempat yang Menjual Khamr?

Dalam kajian hukum Islam, bekerja atau membeli makanan di tempat yang menjual khamr (minuman keras) memiliki dimensi-dimensi yang perlu dianalisis secara mendalam. Pandangan para ulama dari empat mazhab utama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, akan membantu memperjelas pandangan ini. Artikel ini akan membahas masalah tersebut secara rinci berdasarkan pandangan fiqih, dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah, serta prinsip-prinsip dalam syariah.

1. Dalil Larangan Khamr dalam Al-Qur’an dan Hadith

Khamr dilarang dalam Islam berdasarkan dalil-dalil yang sangat jelas, baik dari Al-Qur’an maupun hadith Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:

Dalil Al-Qur’an:

“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ”
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung.” (QS. Al-Ma’idah: 90)

Dalil Hadith: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“لَعَنَ اللَّهُ الْخَمْرَ وَشَارِبَهَا وَسَاقِيَهَا وَبَائِعَهَا وَمُبْتَاعَهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ”
“Allah melaknat khamr, peminumnya, yang menuangkannya, yang menjualnya, yang membelinya, yang memerasnya, yang diperas untuknya, yang membawanya, dan yang dibawakan kepadanya.” (HR. Abu Dawud no 3674 dan Ibn Majah no 3381)

Dalil ini menunjukkan bahwa tidak hanya mengonsumsi khamr yang dilarang, tetapi juga seluruh bentuk transaksi dan keterlibatan dengan khamr.


2. Hukum Membeli Makanan di Tempat yang Menjual Khamr

Mazhab Hanafi: Dalam mazhab Hanafi, keterlibatan dalam transaksi yang mendukung penjualan khamr dianggap haram, karena termasuk dalam kategori ta’awun ‘ala al-ithm (membantu dalam dosa). Mereka mengutip prinsip ini berdasarkan kaidah:

“كُلُّ مَا أَدَّى إِلَى الْحَرَامِ فَهُوَ حَرَامٌ”
“Setiap yang membawa kepada keharaman adalah haram.”Pendapat ini dapat ditemukan dalam kitab Al-Hidayah oleh Al-Marghinani, di mana dinyatakan bahwa barang siapa yang secara tidak langsung mendukung transaksi yang haram, seperti membeli di tempat yang menjual khamr, bisa masuk dalam kategori ini. Dalam kondisi darurat, ulama Hanafiyah membolehkan dengan syarat hanya sementara.

Mazhab Maliki: Ulama Maliki memperbolehkan membeli makanan halal di tempat yang menjual khamr jika transaksi tersebut tidak langsung mendukung penjualan khamr. Ini disebutkan dalam kitab Al-Mudawwanah Al-Kubra dari riwayat Imam Sahnun:

“فَإِذَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ تَعَاوُنٌ عَلَى الْحَرَامِ، فَلَا بَأْسَ بِهِ”
“Jika tidak ada unsur saling membantu dalam perbuatan haram, maka tidak mengapa.”Namun, mereka tetap menganggapnya sebagai makruh karena lebih baik menjauhkan diri dari tempat yang meragukan, dan untuk menjaga kehormatan.

Mazhab Syafi’i: Dalam mazhab Syafi’i, pendapat ini dapat ditemukan dalam kitab Al-Majmu’ oleh Imam Nawawi. Imam Nawawi menjelaskan bahwa jika seseorang membeli barang halal dari tempat yang juga menjual khamr, tidak otomatis menjadi haram, asalkan tidak ada dukungan langsung terhadap penjualan khamr tersebut:

“وَلَا تَكُونُ الشُّبْهَةُ إِلَّا إِذَا اشْتَبَهَ الْحَرَامُ بِالْحَلَالِ، فَإِذَا وُجِدَ الْحَلَالُ بِلَا شُبْهَةٍ لَمْ يَكُنْ حَرَامًا”
“Syubhat hanya ada ketika yang haram bercampur dengan yang halal. Jika yang halal ada tanpa syubhat, maka tidak menjadi haram.”

Mazhab Hanbali: Dalam mazhab Hanbali, pandangan ini dijelaskan dalam kitab Al-Mughni oleh Ibn Qudamah, yang menjelaskan bahwa seseorang harus menghindari setiap bentuk keterlibatan dengan tempat yang menjual khamr:

“مَنْ تَعَامَلَ مَعَ بَائِعِ الْخَمْرِ فَقَدْ دَخَلَ فِي بَابِ الْمُعَاوَنَةِ عَلَى الْإِثْمِ، فَيَجِبُ الِاحْتِرَازُ مِنْهُ”
“Barangsiapa bertransaksi dengan penjual khamr, maka ia telah masuk ke dalam kategori membantu dalam dosa, sehingga wajib untuk menjauhinya.”Prinsip sadd al-dzari’ah (menutup pintu keburukan) sangat dijunjung tinggi dalam mazhab ini, yang mengharuskan menjauhkan diri dari segala bentuk kerjasama dengan aktivitas yang haram.

Baca juga:Hukum Shopee Pay Later Dalam Perspektif Shiddiq Al-Jawi


3. Hukum Bekerja di Restoran yang Menjual Khamr

Mazhab Hanafi: Dalam kitab Al-Hidayah karya Al-Marghinani, disebutkan bahwa pekerjaan yang terkait langsung dengan penjualan khamr adalah haram:

“وَكُلُّ أُجْرَةٍ عَلَى عَمَلٍ مُحَرَّمٍ فَهُوَ حَرَامٌ، كَالْأُجْرَةِ عَلَى حَمْلِ الْخَمْرِ”
“Setiap upah dari pekerjaan yang haram adalah haram, seperti upah untuk mengangkut khamr.”Hal ini menunjukkan bahwa bekerja di restoran yang menjual khamr, meskipun tidak terlibat langsung, tetap tercampur dengan pendapatan yang berasal dari sesuatu yang haram.

Mazhab Maliki: Dalam kitab Al-Mudawwanah oleh Imam Sahnun, terdapat pendapat yang menyatakan bahwa bekerja di tempat yang menjual khamr adalah makruh jika tidak terlibat langsung dengan penjualan:

“لَا بَأْسَ بِالْعَمَلِ فِي مَكَانٍ يَبِيعُ الْخَمْرَ إِذَا لَمْ يَكُنْ الْعَامِلُ مُشَارِكًا فِي بَيْعِهَا”
“Tidak mengapa bekerja di tempat yang menjual khamr jika pekerja tersebut tidak terlibat dalam penjualannya.”Namun, tetap lebih baik untuk menjauhi pekerjaan tersebut demi menjaga kemurnian pendapatan.

Mazhab Syafi’i: Pandangan dalam mazhab Syafi’i dapat ditemukan dalam kitab Al-Majmu’ oleh Imam Nawawi, yang menyebutkan bahwa:

“وَكُلُّ مَا تَعَلَّقَ بِالْحَرَامِ بِنَفْسِهِ فَهُوَ حَرَامٌ، وَالْأَحْوَطُ تَرْكُهُ”
“Setiap yang berkaitan dengan yang haram secara langsung adalah haram, dan lebih hati-hati untuk meninggalkannya.”Dalam hal ini, meskipun ada kelonggaran dalam kondisi darurat, tetap lebih utama untuk meninggalkan pekerjaan yang ada unsur haramnya.

Mazhab Hanbali: Dalam mazhab Hanbali, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Mughni oleh Ibn Qudamah, ada penekanan kuat terhadap pentingnya menjauhkan diri dari segala bentuk pekerjaan yang melibatkan transaksi dengan barang-barang haram seperti khamr. Ibn Qudamah menekankan bahwa:


“لَا يَحِلُّ لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَكُونَ عَامِلًا فِي مَكَانٍ يُبَاعُ فِيهِ الْمُحَرَّمَاتُ، فَإِنَّ ذَلِكَ تَعَاوُنٌ عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ”
“Tidak halal bagi seorang Muslim untuk bekerja di tempat di mana barang-barang yang diharamkan diperjualbelikan, karena hal itu termasuk dalam kategori membantu dalam dosa dan pelanggaran.”


Hal ini berdasarkan prinsip sadd al-dzari’ah (menutup pintu-pintu keburukan) yang banyak dipegang oleh ulama Hanbali. Mereka berpendapat bahwa setiap bentuk keterlibatan dalam usaha yang menjual khamr, meskipun tidak secara langsung terlibat dalam penjualan, tetap mengandung unsur dukungan terhadap keberlangsungan usaha tersebut.
Oleh karena itu, mereka menekankan pentingnya mencari sumber penghasilan yang bersih dari segala unsur yang diharamkan, dan bekerja di tempat yang menjual khamr adalah haram kecuali dalam situasi darurat yang benar-benar tidak ada pilihan lain untuk mempertahankan hidup.

Baca juga:Bagaimana Hukum Uang Muka atau Down Payment (DP)?

4. Prinsip Maqasid al-Shari’ah dan Dampak Sosial

Prinsip maqasid al-shari’ah (tujuan syariat) menekankan pada perlindungan terhadap lima hal pokok, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Larangan terhadap khamr dalam Islam jelas bertujuan untuk menjaga akal manusia, yang merupakan salah satu tujuan utama dalam syariah. Khamr memiliki dampak merusak pada akal dan dapat menimbulkan berbagai bentuk kerusakan sosial dan moral.

Dalam konteks ini, bekerja atau berbelanja di tempat yang menjual khamr dianggap bertentangan dengan tujuan-tujuan tersebut karena berpotensi memperkuat penyebaran khamr di masyarakat. Oleh karena itu, dalam kaidah fiqh, terdapat prinsip:

“مَا أَدَّى إِلَى الْحَرَامِ فَهُوَ حَرَامٌ”
“Apa yang membawa kepada yang haram, maka hukumnya juga haram.”

Prinsip ini banyak digunakan oleh ulama dari semua mazhab sebagai dasar untuk melarang segala bentuk keterlibatan dalam bisnis yang menjual khamr, baik secara langsung maupun tidak langsung.


Kesimpulan

Setelah mengulas pandangan dari keempat mazhab, kita dapat merangkum bahwa:

  1. Membeli makanan di tempat yang menjual khamr:
    • Diperbolehkan oleh Mazhab Maliki dan Syafi’i jika tidak ada unsur dukungan langsung terhadap penjualan khamr, tetapi mereka menganggap lebih baik dihindari untuk menjaga kehormatan dan menghindari syubhat.
    • Mazhab Hanafi dan Hanbali lebih tegas dalam melarang jika ada unsur dukungan atau manfaat dari penjualan khamr, kecuali dalam kondisi darurat.
  2. Bekerja di tempat yang menjual khamr:
    • Mazhab Hanbali sangat tegas dalam mengharamkan bekerja di tempat yang terlibat dalam penjualan khamr karena prinsip sadd al-dzari’ah.
    • Mazhab Hanafi dan Maliki cenderung memperbolehkan dalam kondisi yang tidak ada alternatif lain (darurat), tetapi tetap dianjurkan untuk mencari pekerjaan lain.
    • Mazhab Syafi’i memberikan sedikit kelonggaran jika seseorang tidak terlibat langsung dalam penjualan khamr, tetapi mereka juga mengedepankan kehati-hatian dalam mencari pekerjaan yang lebih baik.
  3. Panduan bagi Muslim: Setiap Muslim dianjurkan untuk menjauhkan diri dari keterlibatan dengan tempat yang menjual khamr agar menjaga kemurnian penghasilan dan mencegah hal-hal yang meragukan dalam agama. Dalam kondisi darurat, keringanan mungkin diberikan, tetapi tetap diutamakan untuk segera mencari alternatif yang lebih baik.Semua pandangan ini berdasarkan pemahaman yang mendalam dari teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah, serta pendekatan hukum dari setiap mazhab yang berusaha mencapai tujuan-tujuan syariat.

Baca juga:Kisah Kedermawanan Abu Bakar Radhiyallahu Anhu yang Menyedekahkan Seluruh Hartanya 

Bekerja dan Membeli di Tempat yang Menjual Khamr?
Bekerja dan Membeli di Tempat yang Menjual Khamr?

Referensi:

Al-Qur’an al-Karim. (n.d.). Surah Al-Ma’idah [5:90]. Madinah: Mujamma’ Al-Malik Fahd Li-Tibaa’at Al-Mushaf Al-Sharif.

Abu Dawud, Sulaiman ibn al-Ash’ath. (n.d.). Sunan Abu Dawud. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Marghinani, Burhan al-Din. (n.d.). Al-Hidayah fi Sharh Bidayat al-Mubtadi. Beirut: Dar al-Ma’arif.

Al-Qudamah, Ibn. (n.d.). Al-Mughni. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Nawawi, Yahya ibn Sharaf. (n.d.). Al-Majmu’ Sharh al-Muhadhdhab. Beirut: Dar al-Fikr.

Sahnun, ‘Abd al-Salam ibn Sa’id. (n.d.). Al-Mudawwanah al-Kubra. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Muslim, Ibn al-Hajjaj. (n.d.). Sahih Muslim. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Ibn Majah, Muhammad ibn Yazid. (n.d.). Sunan Ibn Majah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Devin Halim Wijaya

Master student in IIUM (Institute of Islamic Banking and Finance) | Noor-Ummatic Scholarship Awardee

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button