Penimbunan: Salah Satu Penyebab Permasalahan Ekonomi
(Refleksi Syariah terhadap Ketimpangan dan Kemandekan Distribusi)
Sumber daya melimpah ruah, tapi mayoritas orang didalamnya masih hidup susah?
Ini bukan sekadar ironi, tapi realita pahit yang terjadi di banyak negeri yang katanya kaya.
Hasil bumi ada. Laut luas. Tambang penuh. Sawah subur.
Tapi yang menikmati kekayaan itu hanya sebagian kecil saja. Sisanya? Bertahan hidup hari demi hari.
Apa yang salah?
Masalahnya bukan karena kita kurang produksi. Bukan pula karena Allah ﷻ nggak kasih banyak rezeki. Justru Allah telah menebarkan potensi nikmat-Nya dengan sangat luas.
Tahu nggak sih, yang sebenarnya jadi soal ternyata adalah soal konsep kepemilikan dan distribusi. Coba bayangin, jika ada harta yang seharusnya milik umum, seperti tambang, air, dan energi malah dikuasai individu dan korporasi?
Dan semua ini dibungkus rapi dalam satu konsep yaitu pasar bebas. Sebuah sistem yang menganggap semua bisa dimiliki siapa saja, tanpa batas. Tak ada pemisahan antara hak pribadi dan hak publik. Bahkan tak melihat tanggung jawab sosial atas kepemilikan.
Yang penting punya modal, dia boleh kuasai segalanya. Padahal, Islam sangat jelas membedakan: mana milik pribadi, mana milik umum, dan mana milik negara.
Ketika batas-batas ini dilanggar, maka harta akan berhenti mengalir. Distribusi rusak. Ketimpangan makin lebar. Dan inilah hakikat dari makna penimbunan dalam konteks modern: bukan sekadar menyimpan barang, tapi mengunci akses, menahan hak, dan membiarkan ketidakadilan tumbuh.
Makna Penimbunan dan Dampaknya yang Diam-Diam Menyakitkan
Kalau dengar kata “penimbunan”, pikiran kita mungkin langsung tertuju pada orang yang nyetok barang di gudang buat dijual mahal saat krisis. Itu betul. Tapi dalam Islam, makna penimbunan lebih luas dan lebih dalam.
Pertama, ada istilah ihtikār menyimpan barang kebutuhan orang banyak, lalu menahannya dari pasar demi keuntungan pribadi. Rasulullah ﷺ bersabda:
“لاَ يَحْتَكِرُ إِلاَّ خَاطِئٌ”
“Tidaklah yang menimbun kecuali orang yang berdosa.” (HR. Muslim)
Tapi tak berhenti di situ. Ada pula yang disebut kanzul māl menyimpan harta tanpa menunaikan haknya. Dalam QS At-Taubah: 34–35, Allah ﷻ memperingatkan dengan tegas:
“Orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukan kepada mereka azab yang pedih…”
Nah, zaman sekarang, bentuk penimbunan itu makin variatif. Bukan cuma beras, minyak, atau sembako. Tapi juga:
- Tanah kosong yang disengaja dibiarkan bertahun-tahun demi spekulasi.
- Uang dan aset yang diparkir besar-besaran, tanpa aktivitas produktif.
- Kekuasaan dan akses pasar yang dimonopoli oleh segelintir elit.
- Bahkan izin pengelolaan sumber daya alam yang seharusnya milik rakyat, tapi dikuasai oleh perusahaan besar.
Efeknya pelan tapi menghancurkan. Harga naik. Distribusi macet. Usaha kecil tak bisa bersaing. Sementara masyarakat bawah jadi korban: sulit beli, sulit produksi, dan makin tertekan.
Penimbunan seperti ini diam-diam memutus fungsi sosial harta, yang seharusnya menjadi alat berbagi, malah jadi alat kendali.
Dan lebih parahnya, ini bukan sekadar dosa individu. Kalau dibiarkan, ia jadi penyakit struktural yang membuat sistem ekonomi terlihat hidup, tapi sebenarnya tak sehat dan tak adil.
Dengan senang hati. Berikut adalah lanjutan artikel:
Baca juga: Akhlak dalam Islam: Cermin Taat atau Sekadar Etika?
Kepemilikan dalam Islam vs Sistem Pasar Bebas yang Tak Terbatas
Salah satu akar dari masalah penimbunan adalah cara pandang terhadap kepemilikan.
Dalam sistem ekonomi pasar bebas, semua bisa jadi milik pribadi. Mau itu lahan, tambang, sumber air, bahkan udara yang dibotolkan, selama bisa dibeli dan dimiliki, ya sah-sah saja. Tak peduli apakah barang itu menyangkut hajat hidup orang banyak atau tidak.
Masalahnya, cara pandang ini sangat bertentangan dengan Islam. Islam justru mengatur kepemilikan secara ketat dan berjenjang. Setidaknya ada tiga jenis kepemilikan dalam pandangan syariat:
- Milik individu (al-milk al-fardi) – hasil kerja halal, warisan, jual beli sah.
- Milik umum (al-milk al-‘amm) – seperti air, api, padang rumput, laut, dan tambang besar.
- Milik negara (al-milk ad-daulah) – aset yang dikelola negara sesuai dengan dalil syariat.
Dalam sistem Islam, milik umum tidak boleh dikuasai individu atau swasta. Ia harus dikelola bersama, hasilnya kembali ke masyarakat. Rasulullah ﷺ bersabda:
“المسلمون شركاء في ثلاث: في الكلأ، والماء، والنار”
“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air, dan api.”
(HR. Abu Dawud)
Tapi dalam sistem pasar bebas, semua itu bisa diswastanisasi. Akibatnya? Kepemilikan umum beralih ke tangan pribadi. Distribusi harta makin timpang. Yang kuat menguasai hajat hidup orang banyak, yang lemah tak punya daya tawar.
Inilah mengapa penimbunan bisa bersifat sistemik, bukan hanya kesalahan personal. Ketika konsep kepemilikan dalam Islam diabaikan, sistem ekonomi pun kehilangan arah. Harta bukan lagi sarana ibadah dan maslahat, tapi alat akumulasi dan dominasi.
Dan selama distribusi harta tak berpijak pada syariat, maka keadilan hanya akan jadi jargon, bukan kenyataan.
Dengan senang hati. Berikut adalah lanjutan Bab 3, Kesimpulan, dan Daftar Referensi dalam gaya bahasa yang tetap santai, syar’i, mengalir dan bernas, seperti bagian sebelumnya.
Baca juga: Urgensi Memenuhi Syarat dalam Akad Kerjasama Bisnis Islam
Distribusi Itu Bukan Tambahan, Tapi Fondasi Ekonomi Islam
Sering kali, distribusi dipahami sebagai kegiatan sampingan, semacam amal sosial untuk “menambal” ketimpangan yang sudah terjadi. Padahal, dalam Islam, distribusi adalah inti dari sistem ekonomi itu sendiri.
Bukan setelah kaya baru berbagi, tapi sejak awal harta itu sudah punya hak sosial yang wajib ditunaikan.
Islam mengajarkan bahwa kekayaan tidak boleh diam. Ia harus mengalir. Dari yang mampu ke yang lemah, dari yang berlebih ke yang berkekurangan. Bukan sekadar anjuran, tapi bagian dari sistem.
Ada zakat yang sifatnya wajib. Ada infak, sedekah, dan wakaf yang dianjurkan. Ada larangan menimbun dan kewajiban negara untuk menjaga distribusi tetap hidup melalui hisbah (pengawasan pasar), pengelolaan milik umum, dan penegakan keadilan.
Allah ﷻ menegaskan dalam Al-Hasyr: 7:
“كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةًۭ بَيْنَ ٱلْأَغْنِيَآءِ مِنكُمْ”
“Supaya harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian.”
Jadi jelas, keadilan dalam ekonomi Islam tidak bersandar pada kesetaraan angka, tapi pada jaminan hak-hak dasar. Setiap orang harus bisa hidup layak. Setiap keluarga berhak atas akses ekonomi yang adil. Bahkan individu juga didorong untuk bisa memenuhi kebutuhan tambahannya.
Distribusi bukan opsional. Ia adalah nafas keadilan.
Baca juga: Menanggung Resiko sebagai Sifat Investasi Islami

Yuk Mulai Investasi Halal di Nabitu.
Kesimpulan
Kalau kita ingin membenahi persoalan ekonomi umat, kita harus mulai dari membongkar salah kaprah tentang penimbunan.
Makna penimbunan dalam Islam tidak sebatas menyimpan barang dan menaikkan harga. Ia bisa hadir dalam bentuk penguasaan sumber daya bersama oleh segelintir orang, sistem distribusi yang macet, serta kepemilikan yang tidak berpijak pada syariat.
Masalah utama kita bukan kurang produksi. Tapi karena sistem distribusinya rusak, dan batas kepemilikannya dilanggar. Dan ini tak lepas dari pengaruh sistem ekonomi pasar bebas yang membiarkan siapa pun memiliki apa pun, selama ia kuat dan berkuasa.
Islam seharusnya mengatur empat pilar utama sebagai pondasi sistem ekonominya yaitu kepemilikan, pengelolaan, distribusi, dan perdagangan luar negeri.
Penimbunan adalah gejala dari sistem yang tidak menempatkan amanah dan keadilan pada tempatnya. Dan selama sistem itu tidak berubah, ketimpangan akan terus menganga meski kita diberi kekayaan seberapa pun.
Baca juga: Meminta-Minta dalam Islam: Hukum dan Solusinya
Referensi
Al-Qur’an dan Terjemahannya. Akses melalui https://tafsirweb.com
Muslim. Shahih Muslim. Akses melalui https://www.hadits.id/hadits/muslim
Abu Dawud. Sunan Abu Dawud. Akses melalui https://www.hadits.id/hadits/dawud
An-Nabhani, T. (1990). An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam (Sistem Ekonomi dalam Islam). Beirut: Dar al-Ummah.