Ekonomi Islam

PERBEDAAN SISTEM EKONOMI DAN KEUANGAN SYARIAH DI INDONESIA DAN MALAYSIA

Beberapa tahun terakhir, ekonomi dan keuangan syariah terbukti mampu menjadi salah satu sektor dengan pertumbuhan tercepat pada industri keuangan global. State of the Global Islamic Economy Report 2022 menyebutkan bahwa sepanjang 2021, muslim di dunia membelanjakan USD 2 triliun untuk memenuhi kebutuhan mereka yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Pengeluaran ini meningkat 8,9% dari tahun sebelumnya. Di sisi keuangan, nilai aset keuangan syariah pada tahun 2020 tercatat mencapai USD 3,6 triliun, meningkat 7,8% dari tahun 20201

Keuangan syariah dipercaya sebagai salah satu instrumen yang berperan penting dalam mendukung program pemulihan ekonomi dan mengurangi kemiskinan melalui pemberdayaan ekonomi masyarakat. Hal ini disebabkan keuangan syariah melakukan transaksi berdasarkan prinsip keadilan dan ketulusan. Semua itu terlihat dari mekanisme pembiayaan risiko yang adil dalam pembiayaan syariah serta kehadiran sosial keuangan syariah seperti zakat, waqf, dan infaq

Terkait dengan strategi pengembangan ekonomi dan keuangan syariah, setiap negara memiliki pendekatan yang berbeda-beda. Secara umum, terdapat 2 model strategi perencanaan pembangunan dan implementasi kebijakan yaitu model top-down dan bottom-up2. Pada model top-down, perencanaan dan kebijakan dibuat langsung oleh pemerintah, sebaliknya model bottom-up berasal dari masyarakat untuk kemudian difasilitasi oleh pemerintah. 

Dalam konteks kebijakan ekonomi dan keuangan syariah, Malaysia menerapkan model top-down dimana pemerintah merupakan lead sector, dalam mengembangkan ekonomi dan keuangan syariah di negaranya. Pada prakteknya pendekatan ini bertumpu pada sektor keuangan. Sedangkan Indonesia menerapkan model bottom-up, yang berasal dari permintaan pasar atau masyarakat (market-driven), dimana sektor riil merupakan kontributor utama.

Salah satu implikasi dari penerapan model top-down dan bottom-up dapat kita lihat pada bagaimana kedua negara ini mengembangkan perbankan syariah di negaranya masing-masing. Di Malaysia, Bank Syariah sudah ada semenjak tahun 1983 dengan berdirinya Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) atas inisiatif pemerintah yang sebelumnya didahului oleh pembuatan undang-undang dan regulasi terkait bank syariah. Hingga saat ini, total aset bank syariah di Malaysia telah mencapai USD 284 miliar atau 38% dari total aset perbankan nasional3.

Adapun di Indonesia, Bank Syariah pertama baru berdiri pada tahun 1992 yaitu Bank Muamalat. Akan tetapi, pada saat belum ada regulasi yang mengatur perbankan syariah di Indonesia, sehingga masih merujuk pada undang-undang perbankan konvensional. Saat ini total aset perbankan syariah di Indonesia adalah sebesar USD 46 miliar pada 2022, atau 6,62% dari total aset perbankan nasional4.

Jika dibandingkan, aset perbankan syariah di Malaysia jauh lebih besar dibandingkan Indonesia, baik dalam bentuk total aset maupun kontribusi terhadap aset perbankan nasional. Hal ini merupakan salah satu efek dari kebijakan top-down dan bottom-up yang diterapkan oleh kedua negara. Pertumbuhan aset yang besar pada perbankan syariah di Malaysia bukan didorong oleh jumlah nasabah yang banyak, akan tetapi berkat sokongan proyek-proyek pemerintah dengan nilai besar kepada bank syariah.

Beda halnya dengan Indonesia, aset perbankan syariah yang baru menyentuh 7%, dan cenderung stagnan karena masih dominannya pendekatan bottom-up dan masih minimnya campur tangan pemerintah. Akan tetapi, jumlah nasabah perbankan syariah di Indonesia per 2022 mencapai angka 41.472.879 orang, dimana jumlah ini lebih banyak jika dibandingkan dengan populasi seluruh masyarakat Malaysia. 

Industri perbankan syariah merupakan salah satu contoh konsekuensi dari penerapan kebijakan pembangunan model top-down dan bottom-up. Contoh lain dari penerapan dua model ini dapat dilihat pada sektor sosial keuangan syariah, dimana Malaysia menerapkan kebijakan top-down pada pengumpulan dan penyaluran zakat, sedangkan Indonesia cenderung menerapkan model bottom-up.

Strategi yang diterapkan oleh kedua negara berbeda-beda sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing negara, dan setiap strategi memiliki kelebihan dan kekurangan. Akan tetapi penting bagi kedua negara untuk melakukan evaluasi berkala atas strategi yang diterapkan dan melakukan berbagai improvisasi sesuai perkembangan situasi yang ada demi kemajuan ekonomi dan keuangan syariah. 

Referensi:

1State of the Global Islamic Economy Report. (2022). Unlocking Opportunity. DinarStandard

2Parsons, Wayne. (1997). Public Policy: An Introduction to the Theory and Practice of Policy Analysis. Edward Elgar, Cheltenham, UK Lyme, US.

3Bank Negara Malaysia. (2022). Financial Stability Review 2022

4Otoritas Jasa Keuangan. (2022). Statisktik Perbankan Syariah 2022

Tri Alfiani

Master student in Islamic Finance Practice (MIFP), INCEIF President's Scholarship Awardee, Content and Social Media Specialist in Islamic Finance and Economy living in Kuala Lumpur, Malaysia

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button