3 Cara Menentukan Skala Prioritas dengan Tinjauan Maqashid Syariah
Sebagai seorang muslim dalam berkonsumsi dan menentukan skala prioritas tentu harus mempertimbangkan hal-hal yang membawa manfaat (maslahat) dan menghindari perkara yang bisa merugikan (mafsadah).
Nah, hal tersebut memiliki hubunganya dengan kajian maqashid syariah yang pembagian prioritasnya terdiri dari dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat. Mungkin dalam istilah populernya kita lebih mengenal istilah prioritas kebutuhan primer, sekunder dan tersier.
Lalu, apa yang dimaksud dengan maqashid syariah?
Dari segi bahasa maqasid al-syari’ah berarti maksud atau tujuan disyariatkan hukum Islam. Karena itu, yang menjadi bahasan utama di dalamnya adalah mengenai masalah hikmah dan ‘illat ditetapkannya hukum. Kajian tentang tujuan ditetapkannya hukum dalam Islam merupakan kajian yang menarik dalam bidang usul fiqh.
Maqashid syariah memiliki 5 tujuan penjagaan, yaitu kebutuhan akan penjagaan agama (hifz din), jiwa (hifz nas), keturunan (hifz nasl), akal (hifz aql) dan harta (hifz mal).
Berikut ini 3 pembagian skala prioritas dalam pemenuhan kebutuhan berdasarkan maqashid syariah.
Pertama, kebutuhan dasar (dharuriyat) dalam tinjauan Maqashid Syariah sebagai berikut:
1. Kebutuhan dalam menjaga agama dalam level dharuriyat seperti sholat 5 waktu jika hal ini tidak dijalankan maka akan menghilangkan eksistensi agama
2. Kebutuhan dalam menjaga jiwa seperti sandang, pangan, papan.
3. Kebutuhan dalam menjaga keturunan seperti dilarangnya zina, jika hal ini dilakukan makan eksistensi keturunan yang akan terancam.
4. Kebutuhan dalam menjaga akal seperti dilarangnya minum khamar.
5. Kebutuhan penjagaan terkait harta yang di syari’at tentang tata cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah. Apabila aturan itu dilanggar, maka berakibat terancamnya eksistensi harta.
Kedua, kebutuhan sekunder (hajiyat) dalam tinjauan Maqashid Syariah sebagai berikut:
- Memelihara agama dalam peringkat hajiyyat, yaitu melaksanakan ketentuan agama, dengan maksud menghindari kesulitan, contoh: salat jama’ dan shalat qasr bagi orang yang sedang bepergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit bagi orang yang melakukannya
- Memelihara jiwa dalam peringkat hajiyyat, contoh: diperbolehkan berburu binatang untuk menikmati makanan yang lezat dan halal. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi manusia,melainkan akan mempersulit hidupnya.
- Memelihara akal dalam peringkat hajiyyat, contoh: dianjurkannya menuntut ilmu pengetahuan. Sekiranya hal itu dilakukan, maka tidak akan merusak akal, tetapi akan mempersulit diri seseorang, dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan.
- Memelihara keturunan dalam perringkat hajiyyat, contoh: ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu akad nikah dan diberikan hak talaq padanya. Jika mahar itu tidak disebutkan pada waktu akad, maka suami akan mengalami kesulitan, karena ia harus membayar mahar misl. Sedangkan dalam kasus talaq, suami akan mengalami kesulitan, jika ia tidak menggunakan hak talaqnya, padahal situasi rumah tangganya tidak harmonis.
- melihara harta dalam peringkat hajiyyat, contoh: syari’at tentang jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai, maka tidak akan mengancam eksistensi harta, melainkan akan mempersulit orang yang memerlukan modal.
Ketiga, kebutuhan tersier (tahsiniyat) dalam tinjauan Maqashid Syariah sebagai berikut:
- Memelihara agama dalam peringkat tahsiniyyat, yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia contoh: menutup aurat, baik di dalam maupun di luar salat, membersihkan badan, pakaian, dan tempat. Kegiatan ini erat kaitannya dengan akhlaq yang terpuji. Kalau hal ini tidak mungkin untuk dilakukan, maka hal ini tidak akan mengancam eksistensi agama dan tidak pula mempersulit bagi orang yang melakukannya. Artinya, bila tidak ada penutup aurat, seseorang boleh shalat, jangan sampai meninggalkan salat yang termasuk kelompok daruriyyat.
Namun, menutup aurat ini tidak dapat dikategorikan sebagai pelengkap (tahsiniyyat), karena keberadaannya sangat diperlukan bagi kepentingan manusia. Setidaknya kepentingan ini dimasukkan dalam kategori hajiyyat atau daruriyyat. Namun, kalau megikuti pengelompokan di atas, tidak berarti sesuatu yang termasuk tahsiniyyat itu dianggap tidak penting, karena kelompok ini akan menguatkan kelompok hajiyyat dan daruriyyat. Pemeliharaan tahsiniyat diperlukan demi pemeliharaan maqashid dharuriyat secara tepat.
- Memelihara jiwa dalam peringkat tahsiniyyat, contoh: diterapkannya tata cara makan dan minum. Kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika, sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia, ataupun mempersulit kehidupan seseorang.
- Memelihara akal dalam peringkat tahsiniyyat, contoh: menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah. Hal ini erat kaitannya dengan etiket, tidak akan mengancam eksistensi akal secara langsung.
- Memelihara keturunan dalam peringkat tahsiniyyat, contoh: disyariatkan khitbah atau walimah dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan. Jika ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan, dan tidak pula mempersulit orang yang melakukan perkawinan.
- Memelihara harta dalam peringkat tahsiniyyat, contoh: ketentuan tentang menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika bermuamalah atau etika bisnis. Hal ini juga akan berpengaruh kepada kepada sah tidaknya jual beli itu, sebab peringkat yang ketiga ini juga merupakan syarat adanya peringkat yang kedua dan pertama.
Pada dasarnya, baik kelompok daruriyyat, hajiyyat, maupun tahsiniyyat, dimaksudkan untuk memelihara atau mewujudkan kelima pokok tujuan maqashid syariah.
Sumber:
Ismail, Nurizal. (2014). Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam. Depok: Syamil Institute Publishing.
https://papua.kemenag.go.id/?a=artikel&id=41783#!/detail/39a8b9c2-405d-4420-8c95-ce90c63ba192#topPage Diakses pada 31 Desember 2021