AkhlaqMuslim LifestyleOpini

Pentingnya Mempelajari Sejarah

Pernah suatu kali saya bercerita mengenai pecahnya Daulah Islam menjadi beberapa pecahan. Lalu, teman bercerita saya saat itu merespon, “Lah, bukankah ada hadits, ‘Jika dibai’at dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.’? Berarti pasti salah itu Daulah Islam yang pernah tegak tersebut.” Tidak tepat seperti itu sih bahasanya, namun kurang lebih seperti itu.

Saya tiba-tiba ingat, lah bukannya sistem khilafah yang nampak tidak pernah salah itu juga berkali-kali terpecah? Saya ingat karena pernah membaca peta kekuasaan Islam dari bonus buku anak saya. Ternyata memang benar, khilafah sempat terpecah-pecah dan berkali-kali terdapat dua atau lebih khalifah.

Ini daftar tahun berkuasanya khilafah:
1. Ummayyah (661-750)
2. Abbasiyah (750-1258)
3. Umayyah II (780-1031)
4. Buyids (945-1055)
5. Fatimiyah (909-1171)
6. Saljuk (1055-1194)
7. Ayyubid (1169-1260)
8. Mamluks (1250-1517)
9. Ottoman (1280-1922)
10. Safavid (1501-1722)
11. Mughal (1526-1857)

Dari daftar di atas kita ketahui bahwa selepas masa Khulafaul Rasyidin, ternyata hanya pada masa Umayyah dan awal masa Abbasiyah saja terdapat satu khalifah untuk semua ummat Islam. Sejak tahun 909 (dimana Abbasiyah masih berkuasa) telah berdiri juga kepemimpinan ummat di Egypt oleh Fatimiyyah (bahkan pada periode Fatimiyah inilah Universitas al-Azhar Cairo dibangun). Di masa Abbasiyah, Cordova (Andalusia) juga memisahkan diri dan punya kekhalifahan sendiri (Umayyah II). Di Andalusia inilah sejarah Islam dicatat dengan tinta emas, namun pada saat yang sama terjadi kepemimpinan ganda di tubuh ummat, toh tetap dianggap sukses juga. Pada masa Fatimiyyah di Mesir (909-1171), juga berdiri kekuasaan lainnya: Buyids di Iran-Iraq (945-1055). Buyids hilang, lalu muncul Saljuk (1055-1194), sementara Fatimiyah masih berkuasa di Mesir sampai 1171. Ayubid meneruskan Fatimiyyah dengan kekuasaan meliputi Mesir dan Syria (1169-1260). Dan seterusnya…

Jika teman saya tersebut mengetahui sejarah mengenai hal ini, maka tentu ia akan memiliki respon yang berbeda.

Allah SWT berfirman:

لَقَدْ كَانَ فِى قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِّأُولِى الْأَلْبٰبِ ۗ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرٰى وَلٰكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِى بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَىْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ


“Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal. (Al-Qur’an) itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya, menjelaskan segala sesuatu, dan (sebagai) petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. 12:111)

Ada seorang ulama yang berpendapat, bahwa kebangkitan islam dipengaruhi oleh qiyadah fikriyah atau kepemimpinan berpikir. Namun saya berpendapat, kemajuan bangsa bukan hanya dipengaruhi faktor pemikiran atau pengetahuan mana benar mana salah. Bukankah al Quran dan Kitab para ulama masih ada, utuh dan dapat dipelajari? Teori dan hafalan sudah banyak. Namun mengapa belum berubah juga?

Menurut saya, salah satu faktor penting kebangkitan umat adalah keberadaan figur utama. Contohnya adalah diutusnya Nabi Muhammad saw dan Imam Mahdi. Figur yang mampu memberikan teladan, perilaku dan tutur kata yang baik – tutur kata yang tegas namun menyentuh, tanpa pernah menyakiti atau mencela, sehingga jutaan bahkan milyaran manusia mencintai dan dengan rela mengikuti figur tersebut.

Itulah mengapa sebagian besar isi al Quran adalah kisah-kisah, karena secara psikologis dan emosional, manusia mencintai profil-profil teladan yang dapat dicontoh dan diteladani bagian-bagian hidupnya. Manusia memang punya sisi subjektif dari perasaan yang ada dalam dirinya, sehingga dia cenderung memilih apa yang dia cintai walaupun yang dia cintai itu secara logis tidak sepenuhnya benar atau memiliki manfaat.

Dari kisah-kisah dalam Al Quran itulah kita pelajari sunnah, atau hikmah, atau wisdom dari kejadian yang dialami sehari-hari oleh figur teladan tersebut, sehingga kita tahu bahwa al Quran begitu nyata, banyak kejadian yang biasa dialami oleh manusia biasa, sehingga sikap dan doa para Nabi dapat dicontoh oleh manusia biasa.

Mempelajari al-Kitab mengenai benar-salah tidak cukup, namun juga butuh mempelajari al-Hikmah yang dapat diambil dari sejarah dan Sunnah, sehingga kita dapat lebih bijak dalam menyikapi berbagai permasalahan. Ketika melihat sesuatu yang salah, kita dapat merespon dengan lebih baik daripada “ini salah, itu benar, harusnya begini”, lalu kritik sana, ghibah situ, fitnah sini. Respon yang lebih baik adalah, bagaimana dulu para Nabi merespon hal ini? Apa yang bisa kita lakukan dan ubah dari hal yang salah tersebut? Dan akan kita temukan bahwa solusinya bukan hanya hukum, namun seringkali adalah keshabaran dan pemaafan.

Dengan mempelajari sejarah, kita akan mengetahui bahwa, bukan hanya pengetahuan mengenai hukum dan penerapan sistem hukum yang dibutuhkan untuk kebangkitan dan persatuan umat Islam, namun kebersatuan hati manusia. Dan hati manusia fitrahnya merindukan dan mencintai guru, figur, pemimpin teladan yang mampu menentramkan hati mereka dan melapangkan beban mereka. Figur tersebut harus mampu memimpin sejumlah hati manusia, dan jumlah tersebut bukan hanya puluhan atau ratusan, namun milyaran.

Semoga kita dianugerai kesempatan untuk dipimpin oleh figur-figur seperti itu. Kalaupun tidak, dengan mempelajari sejarah, hati kita akan menjadi senang, tentram dan rindu setelah mengetahui bahwa ada figur sebaik itu pernah hidup di dunia ini.

Tangerang
2019

Anbarsanti

Founder nabitu.id | Mahasiswa Ph.D., Nanyang Technological University, Singapura.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button