AkhlaqAqidahOpini

Teknologi Dalam Pandangan Islam: Antara Hadharah dan Madaniyyah

Teknologi dari masa ke masa tentu akan selalu berkembang. Bahkan teknologi modern telah membuka pintu bagi komunikasi yang luas hingga lintas benua dan negara, menembus sudut-sudut terpencil di pedesaan, dan menjalar melalui lorong-lorong sempit di perkotaan. Namun bagaimana perspektif Islam mengenai perkembangan Teknologi?

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai perspektif islam terhadap teknologi, kita juga meski mengetahui bahwa pada abad ke VIII hingga abad ke XIII, Islam pernah meraih kejayaan gemilang dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Bukti nyata terlihat melalui sumbangan berbagai ilmuwan Muslim pada masa itu. Misalnya, dalam astronomi, al-Battani (Albategnius) menciptakan tabel astronomi sangat akurat sekitar tahun 900 M. Selain itu, dalam dunia kedokteran, tokoh-tokoh seperti Abu Bakar Muhammad bin Zakariyya al-Razi atau Rhazes (864-925 M), Ibn Sina atau Avicenna (1037 M), Ibn Rushd atau Averroes (1126-1198 M), Abulcasis, Ibn al-Nafis (1161 M), dan lainnya juga mengukir prestasi gemilang. Karya al-Razi, “Al-Hawi,” menandai keunggulannya dalam ilmu kedokteran, dan masih banyak lagi ilmuwan hebat lainnya di bidang teknologi. Pada masa tersebut, para cendekiawan Muslim dihormati sebagai “muhandis,” kata bahasa Arab yang setara dengan “Engineer” atau “Insinyur.” Semua ini menggambarkan bahwa perkembangan teknologi memiliki akar yang kuat dalam dunia Islam dan bukan merupakan hal baru.

Kejayaan islam memang pernah berlangsung dan teknologi juga berkembang pesat dimasa itu. Akan tetapi hari ini ketika kita bicara soal teknologi, maka kita akan tertuju kepada peradaban Barat yang saat ini sangat produktif menghasilkan produk teknologi. Kaum muslimin pun tidak jarang yang silau atas kemajuan teknologi tersebut yang akhirnya menganggap itu sebagai keberhasilan suatu peradaban. Anggapan itu kemudian menggeser indikator kesuksesan suatu peradaban yang bahkan membuat kaum muslimin berbondong-bondong menjadikan peradaban barat sebagai kiblat keberhasilan.

Sebagai seorang Muslim, tentu penting bagi kita untuk menjalani hidup mengikuti pedoman yang ditetapkan oleh agama dalam setiap aspek perbuatan kita. Standar ini tidak lain adalah hukum syara’ yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, menjadi panduan utama dalam menilai perbuatan manusia. Sehingga ketika kita membahas prespektif islam terhadap teknologi dan peradaban juga harus dimulai dari pembahasan mengenai hukum syariat yang digunakan untuk menilai suatu fakta.


Dalam Islam, perbuatan manusia diatur oleh hukum syara’, yang melingkupi segala aspek kehidupan. Sedangkan hukum menganai benda, Ibnu Nujaim al-Hanafi menjelaskan bahwa hukum dasar suatu benda adalah “mubah” atau diperbolehkan, kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya. Hukum terkait perbuatan dan benda itu penting diketahui karena sering kali perbuatan manusia dipengaruhi oleh lingkungan bahkan suatu peradaban dan benda-benda di sekitarnya, terutama dengan pesatnya perkembangan teknologi.
Pembahasan teknologi dalam pandangan islam sangatlah erat dengan pembahasan peradaban dalam islam. Agar tidak salah dalam mengambil dan memanfaatkannya. Inilah alasan mengapa edukasi mengenai hadlarah dan madaniyah perlu ditingkatkan di kalangan umat. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan hadlarah dan madaniyah?

Hadlarah adalah kumpulan prinsip-prinsip atau pandangan hidup yang dianut oleh suatu kelompok manusia. Sebaliknya, madaniyah merujuk pada benda-benda fisik yang dapat dilihat dan dirasakan, digunakan dalam berbagai aspek kehidupan. Hadlarah lebih berhubungan dengan pandangan hidup, sementara madaniyah memiliki aspek fisik. Madaniyah dibagi menjadi dua jenis, yaitu yang khusus dan yang umum.

Tentu saja, hadlarah mengandung prinsip-prinsip yang bisa jadi bertentangan dengan aqidah Islam atau syariat Islam. Segala sesuatu yang bertentangan dengan aqidah Islam harus ditolak. Sebagai contoh, sistem kapitalisme, yang didasarkan pada pemisahan agama dari kehidupan, bertentangan dengan ajaran Islam yang mengintegrasikan agama dalam seluruh aspek kehidupan.

Kapitalisme juga mengaburkan garis-garis antara yang benar dan salah, meninggalkan umat dalam kebingungan dalam memahami hukum. Di sisi lain, bentuk-bentuk madaniyah umum biasanya tidak berkaitan dengan pandangan hidup tertentu. Contoh di sini adalah kendaraan seperti mobil, motor, dan pesawat, serta teknologi seperti komputer dan internet. Semua ini berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat, pemikiran manusia, dan perkembangan zaman.

Namun, benda-benda yang muncul dari hadlarah, seperti patung salib, bangunan gereja, candi, vihara, kuil, dan simbol-simbol agama tertentu, termasuk madaniyah yang memiliki karakter khusus dan hukumnya menjadi tidak boleh.

Sebagai seorang Muslim, penting bagi kita untuk memahami perbedaan ini dan melihat segala sesuatu dengan pandangan yang cermat. Sebagai contoh, Candi Borobudur, salah satu tujuan wisata terkenal di Indonesia, menarik perhatian banyak wisatawan dari berbagai latar belakang, termasuk Muslim.

Namun, Candi Borobudur masih digunakan untuk ritual dan peribadatan umat Buddha, yang tentu saja bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, sebagai Muslim, kita seharusnya tidak mengunjungi, memasuki, atau bahkan sekadar berfoto di dalamnya.

Dalam kesimpulan, pemahaman yang kuat mengenai hadlarah dan madaniyah menjadi penting bagi setiap Muslim. Ini membantu kita membedakan benda-benda atau teknologi yang sesuai dengan ajaran Islam dan benda-benda yang tidak sesuai. Dengan mematuhi hukum syara’, kita bisa menjalani kehidupan yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama dan mendapatkan berkah dalam segala perbuatan kita. Allahu a’lam.



Refrensi :
Taqqiyudin An-Nabhani, Nidzamul Islam, Bab Hadlarah

Redha Sindarotama

Quranic Reciter living in Yogyakarta. Actively teaching and spreading the beauty of Islam

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button